DUNIA MELAYU
Menurut A. Ghafar Baba Dunia Melayu merupakan suatu wilayah atau entitas budaya yang ditandai dengan berbagai ciri khas kemelayuan yang menyebar :
Menurut A. Ghafar Baba Dunia Melayu merupakan suatu wilayah atau entitas budaya yang ditandai dengan berbagai ciri khas kemelayuan yang menyebar :
1. Dari Malagasi/ Malagaskar di pantai
utara benua Afrika di sebelah barat sampai ke kepulauan Paskah/ lautan
pasific di sebelah timur
2.
Dari New Zealand di sebelah selatan dan Taiwan sampai ke kepulauan
Okinawa di sebelah utara
Masyarakat Melayu dikenal sebagai masyarakat yang memiliki unsur
adaptasi yang kuat dan bersifat terbuka terhadap setiap perubahan
budaya.
Gabungan
unsur budaya lokal Dari Malagasi/ Malagaskar di pantai utara benua
Afrika di sebelah barat sampai ke kepulauan Paskah/ lautan pasific di
sebelah timur; Dari New Zealand di sebelah selatan dan Taiwan sampai ke
kepulauan Okinawa di sebelah utara; itulah yang membentuk dasar-dasar
bahasa dan budaya Melayu.
Umumnya dasar-dasar bahasa dan budaya itu ditunjukkan dalam upacara
adat, misalnya; memakai mantra/ kata-kata yang dianggap bisa
mendatangkan unsur kekuatan ghaib, penobatan kepala suku dengan keris,
memakai penutup kepala seperti tanjak, tari-tarian yang aktraktif dan
dominasi kaum laki-laki sebagai pemimpin, dan lain-lain.
Budaya adalah cipta, rasa dan karsa manusia
Cipta, bermakna bahwa budaya merupakan sesuatu yang dipikirkan dan
diciptakan serta diwujudkan oleh manusia,
Rasa, bermakna budaya merupakan sesuatu yang lahir dari unsur perasaan
dan jiwa manusia,
Karsa, bermakna budaya merupakan sesuatu yang memberikan pengaruh dan
ikatan yang kuat bagi dirinya, masyarakatnya dan lingkungannya sehingga
menjadi semacam kepercayaan yang harus diikuti.
Gabungan ketiga unsur ini kemudian menjadi makna akan hadirnya sebuah
budaya
.
.
KEPERCAYAAN MELAYU
SEBELUM ISLAM
Dinamisme dan Animisme
Sebelum Islam datang ke dunia Melayu, kaum Melayu adalah penganut
animisme dan dinamisme yang menjelaskan tentang luasnya praktek-praktek
kepercayaan kuno berbasis Melayu.
Diantara praktek-praktek tersebut seperti; sihir, tahayul, tabu,
perdukunan dalam hubungannya dengan makhluk ghaib seperti; tuyul, setan,
jin hantu, dll
.Dinamisme, berasal dari bahasa Yunani, dymanis; artinya kekuasaan,
kekuatan, khasiat.
Dinamisme adalah kepercayaan kepada benda-benda yang dianggap memiliki
unsur kekuatan magis.
Diantara unsur kepercayaan dinamisme yang melekat dalam struktur budaya
Melayu pada periode ini adalah kepercayaan akan kekuatan benda-benda
yang mengandung kesaktian, dinamakan fetisy.
Fetisy sebagai bagian luar dari tubuh manusia yang kalau seandainya
tidak ada, akan berdampak pada kehidupannya secara keseluruhan.
Ketergantungan terhadap fetisy inilah yang melahirkan unsur budaya
pertama dalam masyarakat Melayu.
Umumnya fetis berbentuk; keris, benda keramat, rantai, alat-alat
persenjataan, pakaian-pakaian lama, dll.
Animisme, berasal dari bahasa Yunani anima,
berarti nyawa.
Animisme adalah kepercayaan terhadap suatu benda yang dianggap memiliki
nyawa dan menjadi tempat pelindung.
Diantara unsur animisne pada periode ini dalam masyarakat Melayu adalah
totem
Totem atau totemisme adalah sejenis roh pelindung manusia yang berwujud
binatang.
Pada
awalnya totem merupakan pelindung sekaligus penghubung antara kehidupan
dunia dengan kehidupan ghaib yang memiliki unsur kekuatan magis.
Diantara totem, seperti burung garuda, harimau, singa, ular, gajah,
monyet, dll.
Kepercayaan pada binatang ini karena memiliki sifat yang bisa menjadi teladan bagi manusia. Secara rasional, sebenarnya kepercayaan ini timbul karena begitu dekatnya antara manusia dan alam sebagai sesama makhluk. Sehingga ada kewajiban dari manusia untuk menjaga kelestarian binatang-binatang ini. Namun, penjagaan ini tidak akan kuat apabila tidak dilengkapi dengan unsur kepercayaan yang bersifat mengikat, dan berakibat dosa apabila melanggarnya. Disinilah sekali lagi peran dukun yang bertugas menjaga pikiran masyarakat sehingga dibudayakan.
Kepercayaan pada binatang ini karena memiliki sifat yang bisa menjadi teladan bagi manusia. Secara rasional, sebenarnya kepercayaan ini timbul karena begitu dekatnya antara manusia dan alam sebagai sesama makhluk. Sehingga ada kewajiban dari manusia untuk menjaga kelestarian binatang-binatang ini. Namun, penjagaan ini tidak akan kuat apabila tidak dilengkapi dengan unsur kepercayaan yang bersifat mengikat, dan berakibat dosa apabila melanggarnya. Disinilah sekali lagi peran dukun yang bertugas menjaga pikiran masyarakat sehingga dibudayakan.
Hindu dan Budha
Masuknya sistem kepercayaan Hindu dan Budha mengganti kepercayaan
dinamisme dan animisme pada masyarakat Melayu.
Kepercayaan Hindu menawarkan sistem Dewa-dewa dan kasta dengan penjagaan
kualitas budaya ada pada penguasa dan tokoh agama.
Kepercayaan Budha menawarkan tokoh tunggal sang budha, menawarkan konsep
pertapaan dengan penjagaan kualitas budaya ada pada tokoh sentral
penguasa.
ASAL USUL ALIRAN ADAT MELAYU
Dalam dunia Melayu, dikenal ada 2 adat yang berkembang, yaitu adat perpatih dan adat temenggung. Adat perpatih bersifat metrilinear Adat temenggung bersifat patrilinear Kedua adat ini, dipercaya berasal dari puncak yang sama Adat perpatih mempunyai rujukan dalam bentuk dokumen yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan adat ini, yaitu: Undang-Undang Minangkabau, Undang-Undang Adat dan Undang-Undang Luhak Tiga Laras dan bersifat matrilinear dari garis ibu.
Dalam dunia Melayu, dikenal ada 2 adat yang berkembang, yaitu adat perpatih dan adat temenggung. Adat perpatih bersifat metrilinear Adat temenggung bersifat patrilinear Kedua adat ini, dipercaya berasal dari puncak yang sama Adat perpatih mempunyai rujukan dalam bentuk dokumen yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan adat ini, yaitu: Undang-Undang Minangkabau, Undang-Undang Adat dan Undang-Undang Luhak Tiga Laras dan bersifat matrilinear dari garis ibu.
Didalam tambo Minangkabau dan sejarah lisan tentang
aasal-usul adat. Adat perpatih dan adat temengung didaerah Melayu
disebutkan berasal dari dua tokoh yang bersaudara seibu dan berlainan
bapak. Kedua tokoh ini dilukiskan sama dengan yang disebutkan dalam
tambo adat Minangkabau tentang asal-usul Datuk Katemenggungan dan Datuk
Perpatih Nan Sabatang yang meletakkan dua laras (aliran) adat
Minangkabau, yaitu adat Koto Pialang dan adat Bodi Chaniago.
Dengan demikian, didaerah Melayu
nama tokoh peletak dua aliran adat ini langsung dijadikan nama aliran
adat yang terdapat diaerah ini.
Adat temenggung banyak dianut di daerah Melayu, termasuk di kepulauan
Riau dan bersifat patriinear dari garis bapak.
Dalam perkembangannya, adat temenggung ini masuk ke dunia Melayu bukan
dari imigran Minangkabau, akan tetapi dari proses akulturasi budaya dari
Palembang yang sudang meninggalkan sistem kesukuannya, yaitu dari bukit
siguntang.
Meskipun banyak dianut didaerah Melayu, adat temenggung tidak mempunyai
suatu dokumen khusus yang dapat dijadikan tentang rujukan, asal usul
maupun prinsip adat serta ketentuan pokok yang berlaku didalamnya.
Dokumen resmi yang memuat
aturan-aturan adat temenggung yang disebut undang-undang, seperti
undang-undang Melaka, hanya berisi informasi tentang sifat atau
ciri-ciri dari adat tersebut, bukan merupakan kodifikasi adat adat itu
sendiri.
Ajaran adat maupun prinsip hukum yang terdapat dalam adat temenggung
harus dicari dalam undang-undang Melayu lama tersebut. Hanya hal-hal
mengenai adat kebiasaan dan upacara-upacara yang berhubungan dengan
kelahiran, perkawinan, penobatan dan pemakaman raja-raja Melayu dapat
dijumpai dalam satu dokumen yang dinkenal dengan adat raja-raja melayu.
Didaerah pesisir timur sumatera
maupun kepulauan Riau, sebenarnya sistem pembagian adat Melayu ini
menjadi dua tidak begitu dikenal. Biasanya masyarakat yang berada di
daerah ini hanya menyebut adat yang dianutnya sebagai adat Melayu saja,
sebagai imbangan dari adat Minangkabau.
Sungguhpun demikian, adat Melayu yang berkembang adalah adat temenggung.
Adat temengung dalam perkembangan tradisi masyarakat Melayu telah
mengalami pembauran budaya akibat terjalinnya kontak dagang, serta
memiliki pengkayaan nilai-nilai kepercayaan serta unsur-unsur mitologis,
sosial-kultural-politik, historis maupun geografis.
REFERENSI
REFERENSI
Raja Ali Haji, Tuhfatun Nafis (ed)
Virginia Matheson, Fajar Bhakti, Kuala Lumpur. 1982.
Syed Naquib Alatas, Islam Dalam Sejarah
Kebudayaan
Melayu, Bangi, Kuala Lumpur. 1973 Tun Seri Lanang,
Melayu, Bangi, Kuala Lumpur. 1973 Tun Seri Lanang,
Sejarah
Melayu (ed) Shellabear, Fajar Bhakti, Kuala Lumpur. 1982
Muhammad Faisal, Pemikiran Etika Raja
Ali Haji, Tesis, IAIN Susqa. 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar